WWW.MANDIRIQQ.COM HADIR DENGAN 5 BANK, BCA, MANDIRI, BNI, BRI, DANAMON

Pages

Thursday, May 5, 2016

MANDIRIQQ- SEX UNTUK ANAKKU

SEX UNTUK ANAKKU

MANDIRIQQ

Teng..tong..teng..tong…  Jam dinding berdentang 2  kali. Malam semakin larut saja, tapi Ela masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Eza, suaminya, menelepon,
“La, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi…” suara ibu terdengar sumringah di ujung sana.
“Alhamdulillah… laki-laki atau perempuan, Bu?” Ela tergagap, terkejut dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Ezaq memang sedang berdebar-debar menanti berita ini, adik suaminya, yang akan melahirkan.
“Laki-laki. Cakep lho, La, mirip Mas-mu diwaktu bayi…” Ibu tertawa bahagia. Miranti memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas Eza.
“Selamat ya, Bu, nambah cucu lagi. Salam buat Miranti, Insya Allah besok pulang kerja, Ela dan Mas Eza akan jenguk ke rumah sakit.” janji Ela sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Miranti di rumah sakit.
Setelah menutup telepon, Ela termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah memasuki tahun ke 5, tapi belum juga ada tangis si kecil menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia tetap ikut merasa sangat bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Miranti di usia pernikahan mereka yang baru tiga tahun.
“Kok melamun?!” Mas Eza yang baru keluar dari kamar mandi mengejutkannya. Ia memang pulang agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. Air hangat untuk mandinya sempat Ela panaskan dua kali tadi.
“Mas, ibu tadi kasih kabar, Miranti sudah melahirkan. Bayinya laki-laki,” cerita Ela.
“Alhamdulillah… Dilla sudah punya adik sekarang,” senyum Mas Eza sambil mengeringkan rambutnya, tapi entah mengapa Ela menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Ela menepis perasaannya sambil segera menata meja menyiapkan makan malam.
Selepas ibadah bersama, Mas Eza segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Ela juga sebenarnya juga sangat lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak nyaman bekerja di kantor, Ela memutuskan untuk membuat usaha sendiri saja.
Dibantu temannya yang seorang notaris, akhirnya Ela mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang Interior Design. Ela memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.
Dan, seiring dengan kemajuan dan kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Ela merasa itu tidak terlalu memaksakan kehendak, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan yang sigap dan cekatan membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer lain yang bergabung di perusahaan mungilnya.
Itu sebabnya sesekali saja Ela agak sibuk mengatur ketika ada pesanan design yang datang, selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu Ela terbanyak tetap buat keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Eza meski ada Siti yang membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu.
Ela juga bisa tetap rutin mengaji mengisi rohaninya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi malam ini rasa kantuknya seperti hilang entah kemana. Berita dari ibu tadi membuat Ela teringat lagi. Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah hatinya darah dagingnya sendiri.
Lima tahun pernikahan memang bukan waktu yang sebentar. Awalnya Ela biasa saja ketika enam bulan pertama ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk suami dan merintis usaha kecilnya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya, tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Ela mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti juga pasangan-pasangan lainnya…
Atas saran dari banyak orang, Ela mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya sudah berapa bulan kehamilannya.
“Saya tidak sedang hamil, hanya ingin konsultasi saja…” senyum Ela sabar meski dadanya berdebar, sementara Mas Eza semakin serius dan asyik dengan artikel sexnya. Ela bernafas lega ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.

Setahun berlalu. Di tengah kebahagiaan rumah tangganya, ada cemas yang kian mengganggu Ela. Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Ela gemas melihat tingkah polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya.
Setelah itu mulailah usaha Ela dan suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi satu saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan tidak melanggar syariat agama. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka datangi bersama, meski lagi dan lagi, sama saja hasilnya. Sementara hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.
Kadang Ela menangis ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas yang kerap mengusik tidurnya. Mas Eza selalu sabar menghiburnya,
“Ela, apa yang harus disedihkan? Dengan atau tanpa anak, rumah tangga kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah tangga kita…” kata Mas Eza suatu ketika seperti bisa membaca jalan pikirannya.

Suaminya memang tahu kapan Ela sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut dalam kesedihan. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa menghiburnya, tentu saja disamping do’a dan berserah dirinya pada Tuhan.
Kadang Ela heran kenapa Mas Eza bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar menyembunyikan perasaan saja? Ela tidak tahu, yang pasti sikap Mas Eza banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.
Sebenarnya Ela juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Ela bahagia seperti apa yang biasanya, bahkan banyak aktivitas atau prestasi yang diraihnya.
Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya terhadap Ela yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Ela tersenyum saja.
Ela juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif. Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar bagaimanapun Ela menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar atau bertukar pengalaman dengan yang lain.
Tapi kadang-kadang, sesekali ketika Ela sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Ela senang juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut, bertanya, atau malah menyemangati dengan do’a dan dukungan agar sabar dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.
Ela tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun malam tapi udara terasa pengap. Ela meneruskan tidurnya. Dalam lelap ia bermimpi bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.
Siang keesokan harinya, Ela sedang merancang sebuah ruang pameran di kantornya. Ada festival Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Ela, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya,
“Mbak Ela, ada tamu yang mau bertemu.”
“Dari mana, Fit?” tanya Ela.
“Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, tanya soal aplikasi mbak Ela bulan kemarin.”
“Oh itu. Iya deh, saya ke depan sepuluh menit lagi.” jawab Ela.
Setelah berbincang-bincang dengan tamunya, akhirnya Ela menyepakati mengangkat salah satu anak yatim yang diasuh yayasan tersebut sebagai putra asuhnya. Namanya Salim. Ela memang selalu menyisihkan rezekinya untuk mereka yang membutuhkan.
Dan kali ini, ia berniat untuk menyantuni dan mengasuh Salim seperti anaknya sendiri, itupun setelah dimusyawarahkan dengan suaminya. Ela berharap, dengan begitu ia bisa cepat hamil. Ibu-ibu banyak yang mengatakan, mungkin Ela perlu ’pancingan’ agar bisa lekas dapat momongan.
Begitulah, mulai saat itu, Salim yang berusia 12 tahun, tinggal bersama Ela dan Eza. Mempunyai ’anak’, membawa banyak hikmah bagi Ela. Ia jadi semakin teliti dan perhatian. Apapun kebutuhan Salim berusaha ia penuhi. Mulai dari baju hingga mainan, juga kebutuhan sekolah bocah itu yang tahun depan mau masuk SMP.
Ela juga mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada Salim, hingga mas Eza yang merasa tersisih, sempat melayangkan protes sambil bercanda,
“Hmm, gimana kalau punya anak beneran ya, bisa-bisa aku nggak boleh tidur di kamar.” Ela cuma tertawa menanggapinya.
“Ah, mas bisa aja.” dia mencubit pinggang laki-laki itu.
Dan selanjutnya merekapun bergumul di ranjang untuk memuaskan satu sama lain, sambil berharap persetubuhan kali ini akan membuahkan hasil.
Esok paginya, seperti biasa, Ela menyiapkan sarapan bagi Salim. Tidak terasa, sudah hampir tiga bulan bocah itu tinggal bersamanya. Dan Ela merasa senang sekaligus bersyukur, karena pilihannya ternyata tidak salah, Salim sangat pintar dan baik. Anak itu tidak nakal, sangat menurut meski agak sedikit pendiam. Hanya kepada Ela lah ia mau berbincang, sedangkan dengan mas Eza, Salim seperti menjaga jarak.

“Kenapa, Lim?” tanya Ela menanyakan sebabnya saat mereka sarapan bersama. Saat itu mas Eza sudah berangkat ke kantor, sedangkan Salim masuk siang.
Bocah itu terdiam, hanya jari-jari tangannya yang bergerak memainkan bulatan bakso di atas nasi gorengnya.
“ga pa pa, ngomong saja sama Umi.” kata Ela. Dia memang menyuruh Salim untuk memanggilnya dengan panggilan ’Umi’ sedangkan untuk mas Eza ’Abi’.
“Ah, nggak, Mi.” Salim masih tampak takut.
Ela menatapnya. Di usianya yang baru beranjak remaja, bocah itu terlihat tampan. Kalau besar nanti, pasti banyak gadis yang akan terpikat kepadanya.
“Umi nggak akan marah.” kata Ela lagi, penuh dengan sabar. Salim menggeleng, dia menundukkan kepalanya semakin dalam.
Karena Kasihan, Ela pun mendekatinya.
“Tidak apa-apa kalau kamu nggak mau bilang, umi nggak akan maksa.” Dipeluknya bocah kecil itu, diletakkannya kepala Salim di atas gundukan buah dadanya. Ia biarkan Salim menangis di situ.
“Maaf kalau Umi sudah membuatmu takut.” ucap Ela penuh nada penyesalan, ia memang tidak berharap perbincangan ini akan berakhir seperti itu.
Lama mereka berpelukan, hingga Ela merasa tangis Salim perlahan mereda dan akhirnya benar-benar berhenti. Ia sudah akan melonggarkan dekapannya saat merasakan sesuatu yang lembut mengendus dan menyundul-nyundul pelan buah dadanya.
Ah, Salim! Apa yang kamu lakukan? Ela memang cuma mengenakan daster longgar saat itu, hanya saat keluar rumah atau ada tamu pria, ia mengenakan jilbab. Dengan pakaian seperti ini, bibir Salim yang bermain di belahan susunya sungguh sangat-sangat terasa.
Cepat Ela melirik ke bawah, dilihatnya si bocah yang kini berusaha mencium dan menyusu ke arah buah dadanya.
“Salim!” Ela menegur, tapi dengan suara dibuat selembut mungkin, takut membuat bocah itu kembali menangis. Padahal dalam hati, Ela benar-benar mengutuk aksinya yang sudah kurang ajar.
Salim mendongakkan kepala,
“M-maaf, Mi.” suaranya parau, sementara tubuhnya gemetar pelan.
Tak tega, Ela segera memeluknya kembali.
“Tidak apa-apa, tapi jangan diulang lagi ya. Itu tidak boleh.” ia membelai rambut Salim penuh rasa sayang. Salim mengangguk.
“Maaf, Mi. Salim cuman pengen tahu gimana rasanya nenen.” Ela terkejut,
“Emang kamu belum pernah?” tanyanya tak percaya.
“Salim kan yatim piatu dari kecil, Mi. Jangankan nenen, siapa ibu Salim aja nggak ada yang tahu. Salim ditinggal di depan pintu yayasan.” jawab bocah itu dengan getir.
Ela meneteskan air mata mendengarnya, ia mendekap dan mengelus kepala Salim lebih erat lagi. Setelah terdiam cukup lama, Ela akhirnya membuka suara,
“Bener kamu pengen nenen?” tanyanya dengan suara berat. Keputusan sudah ia ambil, meski itu awalnya begitu berat. Salim menganggukkan kepala.
“Janji ya, cuma nenen?” tanya Ela sambil memandang matanya.
“I-iya, Mi.” angguk Salim cepat.
“Dan jangan ceritakan ini sama orang lain, termasuk pada Abi. Karena anak sebesar kamu sudah tidak seharusnya nenen pada Umi, ini tidak boleh. Tapi karena kasihan, Umi terpaksa mengabulkannya.” terang Ela, terbersit nada getir dalam suaranya.
“Iya, Mi. Salim janji.” kata bocah kecil itu.
Begitulah, dengan perlahan Ela pun menurunkan dasternya hingga buah dadanya yang besar terlihat jelas. Meski masih tertutup BH, benda itu tampak begitu indah. Ukurannya yang di atas rata-rata membuatnya jadi tampak sesak. Ela segera membuka cup BH-nya, tanpa ada yang menyangga, bulatan kembar itupun terlontar dengan kerasnya hingga sanggup membuat mata bulat Salim makin melotot lebar.
“M-mi…” Salim memanggil, tapi pandangannya sepenuhnya tertuju pada area dada sang ibu angkat yang kini sudah terbuka lebar, siap untuk ia jamah.
“Ayo, katanya mau nenen?” kata Ela sambil menarik salah satu bulatan susunya ke depan, memberikan putingnya yang merona merah pada Salim.
Tahu ada benda mulus menggiurkan yang mendekat ke arah mulutnya, Salim pun membuka bibir, dan mencaplok puting Ela dengan perlahan,
“Ahm…” lenguh mereka berdua hampir bersamaan.
Ela kegelian karena ada lidah basah yang melingkupi ujung susunya, sedangkan Salim merasa nikmat mendapat benda yang selama ini ia idamkan-idamkan. Lidahnya terus menari membelai puting susu Umi-nya, sedangkan bibirnya terus mengecap untuk mencucup dan menghisap-hisapnya.
“Ah, jangan keras-keras, Lim. Sakit!” desis Ela di sela-sela jilatan sang anak angkat. Ia mulai merasa merinding, jilatan Salim mengingatkannya pada mas Eza, yang biasa melakukannya sebelum mereka tidur. Meski aksi Salim terasa agak sedikit kaku, tapi sensasi dan rasanya tetaplah sama.

Sementara itu, Salim dengan tak sabar dan penasaran terus menyusu. Mulutnya dengan liar bermain di gundukan susu Ela. Tidak cuma yang kiri, yang kanan juga ia perlakukan sama. Kadang Salim malah membenamkan wajahnya di belahan susu Ela yang curam, dan membiarkan mukanya dikempit oleh bulatan kenyal itu, sambil tangannya mulai meremas-remas ringan.
“Ah, Lim.” rintih Ela mulai tak sadar. Ia menekan kepala bocah itu, berharap Salim mempermainkan susunya lebih keras lagi.
Salim yang gelagapan berusaha mencari udara, digigitnya salah satu puting Ela hingga umi-nya itu menjerit kesakitan.
“Auw, Lim! Apaan sih, sakit tahu!” Ela mendelik marah, tapi melihat muka Salim yang memerah dan nafasnya yang ngos-ngosan, iapun akhirnya mengerti.
“Eh, maaf. Umi nggak tahu.”
“Gak apa-apa, Mi.” Salim tersenyum, kedua tangannya masih hinggap di dada Ela dan terus meremas-remas ringan disana.
“Gimana, kamu suka?” tanya Ela sambil membelai kepala Salim penuh rasa sayang.
Si bocah mengangguk,
“Iya, Mi.”
“Mau lagi?” tanya Ela. Salim mengangguk, senyumnya terlihat semakin lebar.
“Kalau begitu, ayo sini.” Ela pun menarik kepala bocah itu dan ditaruhnya kembali ke atas gundukan susunya.
Begitulah, sampai siang, Salim terus menyusu di bongkahan susu Ela, sang ibu angkat yang masih berusia muda, tidak lebih dari 30 tahun. Dengan susu yang masih mulus sempurna, Salim benar-benar dimanjakan. Ia menjadi bocah yang paling beruntung di dunia. Sementara Ela juga merasa senang karena kini ia menjadi semakin intim dan akrab dengan sang putra angkat yang sangat ia sayangi.
Rutinitas itu terus berlangsung. Kapanpun dan dimanapun Salim ingin, asal tidak ada orang -terutama mas Eza- Ela dengan senang hati menyusuinya. Dan seperti yang sudah dijanjikan, Salim memang tidak pernah meminta lebih.
Bocah itu cuma meremas dan menghisap, tidak macam-macam. Ditambah lagi, sama sekali tidak ada nafsu ataupun birahi dalam setiap jilatannya, Salim benar-benar murni melakukannya karena pengen nenen. Ela jadi merasa aman.
Tapi semua itu berubah saat Salim naik ke jenjang SMP…
Umur yang bertambah membuat pikiran bocah itu semakin berkembang. Dari yang semula cuma nenen biasa, kini berubah menjadi jilatan mesra yang sangat lembut namun sangat menggairahkan. Remasan bocah itu juga semakin bervariasi; kadang keras, kadang juga lembut.
Kalau menghisap puting yang kiri, Salim memijit dan memilin-milin yang kanan, begitu pula sebaliknya. Tak jarang Salim mendempetkan dua puting itu dan menghisapnya dalam satu waktu. Pendeknya, Salim sekarang sudah tumbuh menjadi remaja yang tahu apa arti seks yang sesungguhnya.

Ela bukannya tidak mengetahui hal itu. Ia sudah bisa menebaknya saat melihat penis Salim yang sedikit ereksi saat mereka sedang melakukan ’ritual’ itu. Tapi Ela pura-pura tidak tahu dan mendiamkannya saja.
Toh Salim juga tidak berbuat macam-macam, anak itu tetap ’sopan’. Malah Ela yang panas dingin, itu karena ukuran penis Salim yang saat ini sudah melebihi punya mas Eza, padahal usia bocah itu masih sangat muda. Gimana kalau nanti sudah besar… ah, Ela tidak kuat membayangkannya.
Esoknya, saat membangunkan Salim untuk sholat subuh, Ela disuguhi pemandangan baru lagi. Saat itu Salim masih tertidur lelap, tapi tidak demikian dengan penisnya. Benda itu sedang berdiri dan menjulang begitu tegarnya. Sempat Ela terpana dan terpesona untuk beberapa saat, tapi setelah bisa menguasai diri, ia segera membangunkan sang putra,
“Lim, ayo sholat dulu.”
Salim cuma menggeliat lalu meneruskan tidurnya. Ela jadi tergoda. Apalagi sekarang di depannya, penis Salim jadi kelihatan lebih menantang. Ukurannya yang begitu besar membuat Ela tercengang, dengan warna coklat kehitaman dan ‘kepala’ yang masih kelihatan imut (Salim baru bulan kemarin disunat), benda itu jadi terasa seperti daya tarik bagi Ela.
Tanpa terasa perlahan jari-jarinya terulur dan mulai menggenggamnya. Ia memperhatikan wajah sang putra angkat, Salim terlihat tenang saja, matanya tetap terpejam rapat sambil menikmati tidur pulasnya.
Dengan hati berdebar dan penuh perhitungan, takut dipergoki oleh sang suami -juga takut bila Salim tiba-tiba bangun- Ela mulai mengocok benda panjang itu perlahan-lahan. Saat diperhatikannya Salim tetap tertidur, malah bocah itu seperti menikmatinya -terlihat dari desah nafasnya yang semakin memburu dan tarikan lirih karena terangsang-
Ela pun mempercepat kocokannya. Hingga tak lama kemudian berhamburan cairan putih kental dari ujungnya. Salim ejakulasi. Yang gilanya, akibat rangsangan Ela, ibu angkatnya sendiri.
Merasa sangat bersalah, dengan tergopoh-gopoh Ela segera membersihkannya. Saat itulah, Salim tiba-tiba terbangun.
“Eh, umi…” gumamnya tanpa tahu apa yang terjadi. Ela mengelap sisa sperma Salim ke ujung dasternya,
“Ayo sholat dulu, sayang.” katanya dengan nada suara dibuat senormal mungkin, padahal dalam hati ia sangat berdebar-debar.
Salim memperhatikan cairan putih kental yang berceceran di perutnya. Untuk yang ini, Ela tidak sempat membersihkannya.
“Ini apa, Mi?” Salim mengambil cairan itu dan mempermainkan di ujung jarinya, lalu mengendusnya ke hidung.
“Ih, baunya aneh.” bocah itu nyengir. Ela tersenyum,
“Tidak apa-apa, itu tandanya kamu sudah mulai dewasa.”
Salim memandang umi-nya,
“Dewasa? Salim nggak ngerti. Maksud Umi apaan?” tanyanya.
“Nanti Umi jelaskan, sekarang mandi dulu ya.” Ela membimbing putra kesayangannya turun dari ranjang. Salim menggeleng,
“Nggak mau ah, Mi. Dingin!”
“Eh, harus. Kalau nggak, nanti badanmu kotor terus. Ini namanya mandi besar.” terang Ela.
“Mandi besar?” tanya Salim, lagi-lagi tidak mengerti.
“Ah, iya. Kamu kan belum pernah melakukannya. Ya udah, ayo Umi ajarin.” Ela mengajak Salim untuk beranjak ke kamar mandi.
Di ruang tengah, dilihatnya mas Eza kembali tidur setelah menunaikan sholat subuh. Sudah kebiasaan laki-laki itu, malam melek untuk sholat tahajud, habis subuh tidur lagi sampai waktu sarapan tiba. Dengan bebas Ela membimbing Salim masuk ke kamar mandi.
“Lepas bajumu,” katanya memerintahkan.

Salim dengan patuh melakukannya. Ia tidak risih melakukannya karena sudah biasa telanjang di depan ibu angkatnya. Tak berkedip Ela memperhatikan penis Salim yang kini sudah mengkerut dan kembali ke ukuran semula.
“Pertama-tama, baca Bismillah, lalu niat untuk menghilangkan hadast besar.” kata Ela.
“Emang Salim baru dapat hadast besar ya?” tanya Salim pada ibu angkatnya yang cantik itu.
Ela dengan sabar menjawab,
“Iya, kamu tadi mimpi enak kan?” tanyanya. Salim mengangguk,
“Iya sih, tapi Salim sudah lupa ngimpiin apa.”
“Nggak masalah, itu namanya kamu mimpi basah. Itu tanda kedewasaan seorang laki-laki. Dan sehabis dapat mimpi itu, kamu harus mandi besar biar badanmu suci lagi.” sahut Ela.Salim mengangguk mengerti.
“Terus, selanjutnya apaan, Mi?”
“Selanjutnya… basuh kemaluanmu seperti ini,” Ela meraih penis Salim dan mengguyurnya dengan air. Ajaib, bukannya mengkeret karena terkena air dingin, benda itu malah mendongak keras dan perlahan kaku dan menegang karena usapan tangan Ela.
“Mi, enak…” Salim merintih. Ela jadi serba salah, cepat ia menarik tangannya.
“Eh,” Tapi Salim dengan kuat menahan,
“Lagi, Mi… enak,” pintanya.
Melihat pandangan mata yang sayu dan memelas itu, Ela jadi tidak tega untuk menolak. Tapi sebelumnya, ia harus memastikan segalanya aman dulu. Dikuncinya pintu kamar mandi, lalu ia berbisik pada sang putra.
“Jangan berisik, nanti Abimu bangun.” sambil tangan kanannya mulai mengocok pelan batang penis Salim. Salim mengangguk. Yang kurang ajar, untuk meredam teriakannya, ia meminta nenen pada Ela.
“Plis, Mi. Salim pengen.”
Menghela nafas -karena merasa dipecundangi- Ela pun memberikan bongkahan susunya. Jadilah, di kamar mandi yang sempit itu, ibu serta anak yang seharusnya saling menghormati itu, melakukan hal buruk yang sangat dilarang agama. Salim menggelayut di tubuh montok ibu angkatnya, sambil mulutnya menyusup ke bulatan susu Ela.
Bibirnya menjilat liar disana. Sementara istri Eza, dengan nafas memburu menahan kenikmatan, terus mengocok penis besar sang putra hingga menyemburkan sperma yang dikandung di dalamnya tak lama kemudian.
Banyak dan kental sekali cairan itu, meski tidak seputih yang pertama, tapi pemandangan itu sudah cukup membuat Ela jadi horny. Wanita itu merasakan celana dalamnya jadi basah. Tapi tentu saja ia tidak mungkin menunjukkannya pada Salim, bocah itu tidak akan mengerti. Jadi cepat-cepat ia bersihkan semuanya, takut mas Eza yang sedang tertidur di ruang tengah tiba-tiba bangun dan memergoki ulah mereka.
Didengarnya Salim menarik nafas panjang sambil mendesah puas,
“Terima kasih, Mi. Nikmat banget. Badan Salim jadi enteng.” Ela mengangguk mengiyakan.
“Sudah, sekarang mandi sana. Ulangi semuanya dari awal.”
Salim tersenyum, dan dengan bimbingan dari ibu angkatnya yang cantik, iapun melakukan mandi wajib pertamanya.
Sejak saat itu, level ’permainan’ mereka jadi sedikit meningkat. Ela tidak cuma memberikan susunya, tapi kini juga harus memuaskan Salim dengan tangannya. Dan si bocah, tampak senang-senang saja menerimanya. Siapa juga yang bakal menolak kenikmatan seperti itu.

MANDIRIQQ

Newer Post Older Post Home

1 comments:

SELAMAT DATANG DI WWW.WSD88QQ.COM SITUS BANDARQ TERBAIK
MENYEDIKAN 7 PERMAINAN DALAM 1 AKUN / ID :
- SAKONG ( 3 RAJA ) NEW GAME
- POKER
- BANDARPOKER
- CAPSASUSUN
- ADUQ
- BANDARQ
- DOMINO99
* MINIMAL DEPO Rp. 20.000,-
* MINIMAL WITHDRAW Rp. 20.000,-
* BONUS REFFERAL 20%
* BONUS TURNOVER 0,5% 2 Kali Seminggu

Proses Deposit & Withdraw Cepat !!
Pelayanan 24 Jam,
Daftar - Depo - Main - dan Withdraw Jutaan Rupiah

Post a Comment